2.23.2011

Secuil tentang LANGENDRIYAN dan LANGEN MANDRA WANARAN

Langendriyan yang menceritakan tentang cerita Panji dan Langen Mandra Wanaran atau Langen Wandra Wanaran yang mengambil cerita dari epos Ramayana, keduanya ditarikan dengan cara yang sangat unik. Ciri khasnya yang paling umum adalah cara menarikan dengan sikap njengkeng, juga setiap lakon saling bercakap dengan cara menembang.
Tentang kedua jenis tarian ini, Romo Hartanto bercerita begini, “Langendriyan dan Langenwandrawanaran itu mengambil cerita dari kisah Panji dan cerita Ramayana. Wanaran itu berarti monyet, yang identik dengan Hanoman. Keduanya ditarikan dengan cara njengkeng (sikap setengah berdiri-lebih rendah dibandingkan mendak).”.
“Namun perbedaan akan keduanya dapt dilihat dari bentuknya ketika dalam posisi njengkeng. Kalau Langenwandrawanaran, lutut boleh menyentuh lantai, sedangkan Langendriyan itu sangat dilarang lutut menyentuh lantai. Keduanya ditarikan dengan cara menembang” Romo Hartanto melanjutkan.

Menurut Romo Hartanto juga, Kedua tarian ini diciptakan di Bangsal Kepatihan (sekarang menjadi kantor gubernur). Ketika itu Patih Danureja juga menaruh perhatian pada seni, maka beliau menciptakan kedua tarian tersebut. Pada awalnya kesenian ini bukan dalam bentuk tarian. Jadi, sekelompok orang di pendopo membaca dengan menembangkan serat-serat, dengan format seperti orang bergiliran melakukan kegiatan Sema’an Quran. Namun, dengan seiringnya berjalannya waktu, mereka mencoba melakukannya dengan tarian. Dengan dalih untuk menjaga kewibawaan Sri Sultan Hamengku Buwana yang bersinggasana di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, maka kedua semua tarian itu ditarikan dengan posisi njengkeng.
“Kecuali ketika ada adegan terbang, ya berdiri” Romo Hartanto menjelaskan sambil mencontohkan cara terbangnya dalam posisi nyamber.

Sedangkan menurut Mas Agung Tatok, ia bercerita kalau tarian itu awal mulanya diciptakan di Ndalem Kaneman. Jaman dahulu, karena selama bulan Ramadhan ada aturan bahwa semua kegiatan seni dihentikan dalam lingkungan Njeron Benteng. Namun seniman-seniman setempat (mungkin, karena sudah menjadi hobi dan mengisi waktu luang-membunuh sepi) mengakalinya dengan membuatnya semua tarian dimainkan dengan posisi njengkeng agar tidak bermaksud melawan parentah ndalem (peraturan dari Sultan). Juga berdialog dengan menembang.
Awal mulanya terjadinya kedua wayang ini sama seperti apa yang dikemukakan Romo Hartanto diatas. Awalnya hanya sekelompok orang yang jenuh menembangkan serat-serat¬ maka mereka variasikan dengan gerakan tari.

Tapi menurut Mas Alin (Putra dari Romo Sasminta Mardawa) menjelaskan ketika saya selesai berlatih tari, bahwa Langendriyan itu cendrung dikembangkan oleh Solo, sedangkan khasnya dari Jogja itu Langenwandrawanaran. Keduanya dilakukan dengan posisi njengkeng dan menembang. Memang seperti beberapa Serat Langendriyan yang Mbak Fira Basuki pinjamkan kepada saya kebanyakan ceritanya bersumber dari daerah Solo.

No comments:

Post a Comment